Tumbuh Bersama, Saling Menjaga: Perjalanan Maru dalam Organisasi

Oleh: 

Puput Waina, Keisha Kamilah, Dilla Pusparini

Bidang Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat PK IMM Fakultas Psikologi UHAMKA 

2024-2025  

 

     Namaku Maru, ini tahun pertamaku menginjak dunia perkuliahan. Aku selalu bermimpi membuat perubahan dalam diriku. Aku ingin melakukan sesuatu yang berarti sekaligus bisa membantu orang lain. Alasan inilah yang membuatku berdiri di depan papan registrasi organisasi ini. Jantungku berdegup kencang, ada rasa semangat tetapi juga rasa takut. Aku bertanya-tanya dalam hati, apakah ini keputusan yang tepat untukku ambil?

   Aku memberanikan diriku untuk bergabung dalam organisasi ini. Hari-hari awalnya terasa menyenangkan. Hariku diisi dengan teman-teman baru, diskusi seru, tawa, serta semangat menyusun program kerja bersama. Aku merasa diterima. Setiap kali kami menyelesaikan tugas bersama, ada kebanggaan yang menyelimutiku.

     Seiring berjalannya waktu, organisasi ini mulai terasa seperti rumah kedua bagiku. Bukan sekadar tempat untuk belajar dan berkontribusi, tetapi juga tempat di mana aku menemukan orang-orang yang bisa kuandalkan. Teman-temanku selalu siap bekerja sama, ada yang menghibur saat lelah melanda, dan ada pula yang diam-diam mengawasi dari jauh, memastikan kami semua tetap kuat. Setiap pertemuan dipenuhi semangat, tawa, dan diskusi panjang yang membuatku merasa bahwa aku berada di lingkungan yang tepat. Kami saling menyemangati di tengah kesibukan dan tanggung jawab yang terus bertambah, sehingga hari-hari di organisasi terasa lebih bermakna.

     Namun seiring berjalannya waktu, aku menyadari bahwa perjalanan ini tidak selalu mudah. Euforia itu tidak selamanya ada dalam organisasi. Banyaknya program kerja, rapat yang sering dilakukan, ekspektasi yang tinggi, dan tekanan dari berbagai pihak membuatku lelah. Aku mulai meragukan diriku sendiri. Aku bertanya-tanya, apakah aku mampu? Apakah aku bisa bertahan?

     Tak hanya itu, beberapa keputusan yang diambil dalam organisasi ini terasa tak adil. Terkadang suara kami seakan tak didengar. Aku ingin menyuarakan pendapatku, tetapi sering kali ketakutan membungkamku. Kecewa, marah, dan frustasi menjadi perasaan yang sering menemani hariku. Aku pun bertanya dalam hati, apakah bergabung di sini adalah sebuah kesalahan?

     Puncaknya terjadi saat kami bersiap mengadakan sebuah acara. Aku dan Runa diberi tanggung jawab dalam acara ini, tetapi di tengah persiapan tekanan semakin besar. Tugas yang menumpuk, koordinasi yang kurang berjalan dengan baik, serta ekspektasi tinggi yang kami dapatkan membuat kami kewalahan. Lelah yang kurasakan membuat aku dan Runa, teman baikku, berdebat sengit. Aku merasa Runa kurang serius, sedangkan Runa menganggapku terlalu keras dan perfeksionis.

   Kata-kata yang keluar dari mulutku penuh emosi, tanpa kusadari nada bicaraku meninggi. Aku melihat ekspresi kecewa di wajahnya, tetapi amarah menutupi segalanya. Ia pergi tanpa berkata apa-apa, meninggalkanku sendirian. Aku mulai mempertanyakan, apakah aku terlalu keras? Apakah aku yang salah dalam situasi ini?

    Hari demi hari berlalu, dan rasa bersalah itu terus menghantuiku. Tanpa kehadiran Runa, beban terasa berat. Aku mencoba menyelesaikan semuanya sendiri, tetapi nyatanya aku tidak bisa melakukannya seorang diri. Akhirnya aku memberanikan diri untuk meminta maaf pada Runa. Dengan berat hati, aku mengakui kesalahanku dan mengungkapkan bahwa aku butuh bantuannya. Runa tersenyum kecil dan berkata, "Aku juga salah, Maru. Kita semua hanya manusia yang sedang belajar."

   Kami akhirnya bekerja sama kembali, dan meski tidak sempurna, acara itu berjalan dengan baik. Setelah semua kesalahpahaman yang terjadi, aku menyadari bahwa organisasi bukan hanya sekadar tempat untuk bekerja dan menyelesaikan tugas, tetapi juga tentang bagaimana kita belajar memahami satu sama lain.

    Hari-hari setelah acara itu menjadi titik refleksi bagiku. Aku mulai melihat sekeliling, memperhatikan teman-teman yang selalu ada di tengah kesibukan dan orang-orang yang mau mendengarkan serta berbagi beban. Aku ingat saat pertama kali menginjakkan kaki di organisasi ini, penuh dengan harapan dan mimpi untuk berkembang. Aku ingat bagaimana aku pernah merasa bahwa organisasi ini adalah rumah kedua, tempat di mana aku bisa bertumbuh bersama orang-orang yang memiliki tujuan yang sama.

    Tentu saja, tidak semua berjalan mulus. Aku mengalami euforia di awal, lalu dihadapkan pada rasa lelah, tekanan, dan konflik yang membuatku sempat berpikir untuk mundur. Aku merasa tidak cukup baik atau tidak cukup kuat untuk tetap bertahan. Namun, pada saat itulah, aku menyadari sesuatu yang penting. Aku tidak sendirian.

    Runa, yang sebelumnya sempat bertengkar denganku, adalah salah satu orang yang menyadarkanku akan hal itu. "Kita semua pasti merasa lelah, Maru. Tapi kita juga ada di sini untuk saling mendukung, bukan hanya untuk sekadar menyelesaikan tugas." Kata-katanya sederhana, tetapi tetap terasa mengena di pikiranku.

    Kini, aku belajar untuk menerima bahwa organisasi bukan hanya tentang tugas dan tanggung jawab, tetapi juga tentang pertumbuhan. Aku belajar dari setiap konflik, dari setiap rasa kecewa, dan dari setiap kebanggaan yang kami raih bersama. Semua emosi ini adalah bagian dari perjalananku, bagian dari bagaimana aku tumbuh dan memahami arti sebenarnya dari bekerja secara bersama dalam satu tujuan.

   Mungkin aku masih akan mengalami hari-hari berat. Mungkin aku masih akan meragukan diriku sesekali. Tapi aku tahu satu hal: aku tidak sendiri. Dan selama aku memiliki tekad untuk terus belajar dan berkembang, aku akan tetap melangkah maju. Sebab, organisasi ini bukan hanya sekadar tempat untuk bekerja. Ini adalah tempat di mana kami tumbuh bersama dan saling menjaga.


Editor: Umar Hamid Nugroho, Dinda Asyiyah, Muhammad Farhani Akbar.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harmoni dalam Komunikasi Organisasi

GEMALI

Pemimpin Cahaya