Perempuan Sufi Terkenal dengan Mahabbah Ilahiah “Rabi'ah Al-Adawiyyah"
Oleh : Naila El Hamra
Kisah perempuan sufi dengan mahabbah ilahiah pada masa dinasti Umayyah
yang terkenal sampai saat ini sangat menarik untuk dikaji. Di dalamnya terdapat
kisah mahabbah ilahiah seorang hamba yang tidak mengharapkan balasan apapun
dari Rabbnya. Rabi’ah merupakan putri ke-empat dari laki-laki zuhud bernama
Ismail Al-Adawiyah Al-Basriyah. Ia lahir di kota Basrah, Irak. Rabi’ah binti
Ismail Al-Adawiyah Al-Basriyah atau juga dikenal dengan sebutan Rabi’ah Basri,
memiliki kehidupan yang dapat menarik perempuan untuk mencintai Rabbnya pada
masa itu.
Kezuhudan atas dunia yang dimilikinya pun berasal dari ayahnya. Hingga menuju kehidupan yang dewasa ia melakukan masa pencarian dirinya terhadap hubungannya dengan Rabbnya. Begitu banyak rintangan yang dihadapi dengan deraian air mata. Membuatnya menjadi perempuan kuat dengan hanya menggantungkan dirinya kepada Rabbnya.
Kehidupan kota Basrah yang mengalami beberapa bencana menjadikan Rabi’ah perempuan miskin yang diculik oleh perampok untuk dijual sebagai budak. Saat Rabi’ah telah jatuh ke tangan tuannya segala bentuk musibah menimpanya, begitu menyakitkan menjadi seorang budak yang harus mengabdikan dirinya hanya kepada tuannya bukan Tuhannya. Segala musibah yang dialaminya justru semakin membuat Rabi’ah lebih dekat dengan Rabbnya.
Kedekatan yang dilakukan oleh Rabi’ah terhadap Rabbnya terjadi juga karena kehidupan Rabi’ah telah terpelihara dari barang-barang syubhat dan barang yang diperoleh dengan maksiat. Kedekatan inilah semakin meningkat karena ia tidak sembarangan memakai atau memakan sesuatu jika tidak diketahui hukum asalnya. Begitu indah bukan ketika seorang manusia mampu menjalankan perintah Rabbnya? Maka semua alur kehidupannya akan terjaga dari segala sesuatu yang syubhat bahkan haram sekalipun.
Ketika masih kecil, Rabi’ah adalah gadis yang sangat shalihah. Ia menjadi anak yatim piatu setelah kedua orang tuanya meninggalkannya dengan usia yang masih sangat muda. Dalam usia yang masih muda, Rabi’ah dan saudara perempuannya harus mencari pekerjaan untuk melanjutkan hidupnya (Abu Ubaidillah Syarif, Dalam Kisah Rabi’ah Al-Adawiyah). Rabi’ah sendiri pun melanjutkan pekerjaan ayahnya sebagai orang yang membantu menyebrangi orang-orang di sungai Dajlah. Sementara sauadara perempuannya yang lain hanya bekerja di rumah dengan menenun kain dan memintal benang. Hal ini dapat terlihat dari kemandirian Rabi’ah setelah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya, ia dapat melanjutkan pekerjaan ayahnya di luar rumah.
Kehidupan Rabi’ah yang sejak kecil selalu terjaga oleh orang tuanya dari hal-hal yang buruk tidak menjadikan kehidupannya ketika dewasa menjadi lebih mudah. Menurut Qindil, Rabi’ah dan saudara perempuannya keluar masuk kampung dan mengetuk setiap pintu rumah untuk menawarkan jasa, barangkali ada pekerjaan yang dapat mereka bantu. Hal ini terjadi ketika kota Bashrah mengalami kemiskinan pun mengharuskan Rabi’ah untuk menjadi seorang budak yang dipaksa oleh segelintir perampok saat itu. Begitu hancur hatinya ketika harus mengabdikan dirinya kepada seorang manusia. Perlakuan yang sangat kasar, tanpa prikemanusiaan, dan belas kasih ia dapatkan dari tuannya.
Tubuh Rabi’ah yang semakin kurus kering dengan memakan makanan yang hanyalah sisa dari tuannya serta baju yang compang-camping tidak membuatnya berputus asa dan mengeluh. Rabi’ah semakin menemukan jalan untuk menuju Rabbnya dengan konsep mencintai Allah tanpa mengharapkan balasan. Konsep yang mungkin hanya segelintir orang mampu untuk melaksanakannya. Lalu bagaimana dengan kita? yang mencintai Allah dengan tulus pun belum dapat dikategorikan. Sungguh kedudukan iman yang sangat tinggi dimiliki oleh Rabi’ah Al-Adawiyah. Dalam Al-Qur’an telah banyak ayat yang menjelaskan tentang cinta misalnya dalam Surat Al-Anfal ayat 2 yang artinya :
“Sesungguhnya orang yang beriman ialah orang-orang yang bila disebut nama Allah gemetar hati mereka dan bila dibacakan ayat-ayat Allah bertambahlah iman mereka. Dan kepada Tuhannya lah mereka bertawakkal”.
Menurut Abu Ubaidillah Syariff, 73 Al-Hujwiri menjelaskan bahwa cinta manusia kepada Tuhannya merupakan suatu kualiti yang menjelma dalam hati orang yang beriman dan taat sebagai bentuk penghormatan terbaik bagi yang dicintainya. Cinta Rabi’ah yang hanya menjadikan Rabbnya sebagai satu-satunya dalam hidupnya membuat Rabi’ah semakin zuhud dengan dunia.
Ketika banyak mata yang terlelap dalam dinginnya malam ia tak sekalipun melewatkan malam dengan merayu mesra Rabbnya, menceritakan segala keluh kesahnya sepanjang malam. Kezuhudan yang dimilikinya tidak menjadikannya lupa untuk ikhtiar di dunia bentuk yang tidak mencari kenikmatan dunia semata melainkan ikhtiar memenuhi hidupnya dengan menggunakan dunia untuk berjumpa dengan Rabbnya. Cara Rabi’ah menggunakan dunia sebagai jalan dan alat untuk menyembah Allah SWT, ia memanfaatkan dunia sesuai dengan kebutuhannya dan ia tidak memberikan dirinya kesempatan untuk bergantung kepada dunia.
Menurut Margaret Smith konsep mahabbah ilahiah yang telah dipopulerkan oleh Rabi’atul Al-Adawiyah merupakan konsep mencintai Allah hanya karena Rabbnya adalah Tuhan yang harus dicintai tanpa mengharapkan balasan apapun selain hanya bersama dengan yang dicinta. Konsep yang tidak secara langsung dapat hadir tetapi tumbuh dengan proses panjang dari pengalaman hidupnya sejak ia kecil.
Menurut Imam Al-Ghazali dalam konsep syair yang menggambarkan kecintaan Rabi’ah terhadap Rabbnya merupakan cinta karena kesenangan (hub al-hawa) yaitu cinta kepada Allah karena kebaikan dan kenikmatan-kenikmatan yang dianugerahkan Allah kepada Rabi’ah. Bagi Rabi’ah cinta kepada Allah merupakan suatu keinginan yang timbul untuk selalu bersama Allah, mengingat-Nya dan ingin abadi di sisi-Nya. Selain itu baginya Allah adalah satu-satunya yang berhak mendapatkan cintanya, karena Kemuliaan-Nya, Keagungannya-Nya, dan Keindahan-Nya.
Cinta yang dimiliki Rabi’ah adalah cinta yang memperlihatkan bagaimana cara Rabi’ah memposisikan dunia hanya sebagai jembatan menuju cinta-Nya. Sampai akhirnya ia kembali kepada Rabbnya dengan konsep mahabbah yang ditanamkan dalam dirinya serta kezuhudan akan dunia menjadikannya diberi julukan sebagai Syahidatul ‘Isyqil Ilahi (wanita yang syahid oleh kerinduan ilahi).
Masya Allah, keren sekali artikelnya
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSemogaaa cinta dan sikap Rabi'ah bisa tertanam dalam diri saya sendiri dan para muslim di luar sana
BalasHapus