Mengapa Sex Education itu Penting?

 Oleh : Rania Azzahrah Utami

Baru-baru ini publik kembali digemparkan dengan maraknya pemberitaan terkait kekerasan seksual. Salah satu yang menjadi sorotan utama netizen yang menjadi viral ialah kasus kekerasan seksual yang melibatkan pimpinan pondok pesantren terhadap santri, dan juga mahasiswa yang ditemukan tewas di makam ayah karena mengalami stress pasca menjadi korban kekerasan seksual dari sang pacar. Peristiwa tersebut tak pelak membuat diri menutup mata, pasalnya kasus seperti ini tidak hanya terjadi sekali atau dua kali saja namun banyak diketemukan dan tak terekspos. Dalam beberapa tahun ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah mencatat bahwa ada sebanyak 7.191 kasus kekerasan seksual pada tahun 2020 (Lubabah, 2021). Angka tersebut bukan terbilang sedikit, lalu bagaimana cara untuk menyikapi hal tersebut? Yuk simak penjelasannya.

Apa itu kekerasan seksual?

Kekerasan seksual ini dapat diartikan sebagai bentuk tindakan seks menyimpang yang dapat menimbulkan banyak sekali kerugian pada korban hingga mengganggu ketertiban dan kenyamanan dalam kehidupan bermasyarakat (Aisyah, 2017). Kekerasan seksual ini merupakan salah satu bentuk tindakan kejahatan karena menggunakan cara-cara kekerasan untuk menunaikan niat buruknya. Pelaku umum kekerasan seksual ternyata bukan hanya berasal dari orang lain yang tidak kenal dengan korban lho, tetapi kebanyakan justru berasal dari orang-orang disekitar korban. Yup betul sekali, pelaku yang tak terduga ini juga bisa berasal dari keluarga seperti tetangga, teman bermain, paman, bibi, orang tua kandung, dsb (Rini, 2020). Mayoritas korban dari kekerasan seksual hampir sering terjadi pada kalangan wanita dan juga anak-anak.

Efek yang ditimbulkan bagi korban kasus kekerasan seksual ini ialah rentan mengalami stress hingga depresi berat yang membutuhkan pendampingan khusus dari profesi psikolog/psikiater terkhusus pada kelompok anak-anak yang rentan mengalami efek terburuk bagi perkembangan dirinya di masa mendatang, Umumnya korban akan jauh merasa tidak nyaman terhadap orang lain diliputi rasa cemas, dan takut. Lalu mencoba membatasi ruang sosial, merasa kesepian, hingga gangguan perilaku (Rini, 2020).

Larangan yang tertulis dalam al-qur’an

Hikmah yang bisa dipetik dalam kejadian ini lebih merujuk kepada bagaimana kita melakukan upaya untuk bisa memperkaya wawasan dan juga menjadi media untuk berintropeksi. Dalam Al-Qur’an telah tertulis dengan jelas perihal larangan untuk berzina bagi laki-laki maupun perempuan. Q.S Al-Isra ayat 32 yang artinya Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk”, melalui ayat ini kita dapat memperoleh pengetahuan bahwa zina adalah perbuatan yang sangat dibenci oleh Allah SWT. Pintu masuk dari zina yang melekat pada konteks interaksi kita sehari-hari ialah berpacaran. Islam tidak mungkin melarang sesuatu tanpa sebab yang jelas dan sudah terbukti banyaknya kasus kekerasan ini dapat dilakukan oleh pacar sekalipun.

Penegasan perihal Islam sangat-sangat menjaga kehormatan manusia agar dapat terhindar dari perbuatan keji (zina) juga dijelaskan dalam Al-Qur’an surah An-Nur ayat 30 yang artinya “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman,’Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Dalam ayat ini kita kembali disadarkan untuk dapat menutup segala celah hasrat seksual dengan menahan pandangan kita terhadap hal-hal yang haram untuk dilihat oleh kita.

Motif Pelaku Predator Seksual

            Berbicara mengenai hal ini sebenarnya sangat banyak factor-faktor penyebab seseorang melakukan tindak kekerasan seksual. Namun pembahasan kali ini dibatasi pada 2 (dua) penyebab yakni; 1) Kepuasan dan/atau perasaan senang, serta 2) Adiksi konten pornografi. Perasaan puas menjadi orientasi utama seseorang berbuat menyimpang, analogi sederhananya ialah ketika kita memperoleh juara dan mendapati rasa kepuasan dalam diri yang akan muncul ialah afeksi (emosi) senang bukan? akhirnya bisa ditebak bahwa kita ingin terus berusaha untuk menggapai hal itu. Ini juga serupa pada pelaku kejahatan seksual pascanya mereka tidak bisa mengontrol dorongan emosi mereka untuk memperoleh kebahagiaan sehingga senantiasa berupaya untuk dapat memenuhi hasrat tersebut. Kedua, adiksi konten pornografi, dalam berbagai penelitian telah membuktikan bahwa konsumsi konten berbau pornografi dapat meningkatkan dorongan untuk menyalurkan hasrat seksual (Murni, 2018).

Upaya yang dapat dilakukan dalam menanggapi kasus kekerasan seksual

1.      Memberikan edukasi seksual dini kepada anak

Hal yang perlu disampaikan ialah mengenai apa-apa saja yang boleh dan tidak boleh disentuh oleh orang lain seperti mulut,/bibir, dada, sekitar paha, bokong, dan kemaluan. Ajari anak sejak dini untuk selalu bercerita dan/atau melaporkan kepada orangtua bila mengalami kejadian-kejadian tidak nyaman atau mengganggu. Hal ini merupakan salah satu upaya pertahanan diri. Selain itu pula, penting rasanya bagi keluarga untuk dapat memberikan tambahan informasi yang lebih kompleks kepada anak yang telah mencapai masa pubertas untuk mengetahui bagaimana perubahan yang akan dialami oleh tubuh serta fungsinya dan juga perihal personal space dalam berinteraksi dengan lawan jenis.  

2.      Membangun dan meningkatkan spiritualitas

Hal ini dapat dilakukan sedari dini ataupun sebagai langkah yang harus dilakukan pasca kekerasan seksual. Sedari dini ajari pada anak mengenai batasan-batasan dalam bergaul terhadap lawan jenis, memberikan edukasi mengenai Islam dalam memandang dan menjaga kehormatan wanita, dan memberikan pendampingan spiritual khusus bagi anak yang menjadi korban dengan sama-sama mendekatkan diri kepada Allah serta menjadi media untuk mawas diri

3.      Memberikan dukungan terbaik bagi anak pasca tindak kekerasan seksual

Dukungan sosial mampu membuat korban mendapat kekuatan untuk bisa bertahan (Rini, 2020). Dukungan sosial ini tak hanya dari keluarga, namun dari masyarakat di lingkungan sekitar korban juga dapat mempengaruhi kondisi mental korban. Masyarakat di lingkungan korban tidak berlaku tidak adil dengan mengucilkan korban serta keluarganya karena sejatinya mereka berhak untuk mendapati kenyamanan, dan meneruskan hidupnya. Bijaklah kalian dalam bersikap karena sungguh kita tidak memiliki kuasa untuk menghakimi seseorang. Pikirkanlah kembali mengenai bagaimana perasaan dan kondisinya jika kita melakukan tindakan seperti itu.

Pemberian sex education baik kepada anak bukan lagi menjadi suatu hal yang tabu untuk dibicarakanoleh orang tua. Sex education yang diberikan tentunya bukan merujuk pada hubungan keintiman, namun lebih kepada hal-hal yang dapat dijadikan landasan mereka untuk bersikap di tahapan perkembangan selanjutnya. Sosialisasi mengenai sex education ini adalah tanggungjawab kita bersama dari seluruh elemen tidak hanya bagi orangtua saja, namun juga seharusnya menjadi atensi bagi pihak penyelenggara pendidikan, masyarakat, kalangan pelajar dll.

 DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, Poetri A. (2017). Faktor-Faktor Penyebab Melakukan Kekerasan Seksual Terhadap Korban Kekerasan Seksual Dampingan Pusat Layanan Informasi Dan Pengaduan Anak (Puspa) Di Pusat Kajian Dan Perlindungan Anak (Pkpa) Medan. Skripsi

Murni, dkk. (2018). DAMPAK MEDIA BERKONTEN PORNOGRAFI TERHADAP ANAK. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial RI, Jakarta

Rini. (2020). Dampak Psikologis Jangka Panjang Kekerasan Seksual Anak (Komparasi Faktor: Pelaku, Tipe, Cara, Keterbukaan Dan Dukungan Sosial). Jurnal IKRA-ITH Humaniora, 4(3), 156-158.

Lubabah, Raynaldo G. (2021). KemenPPPA Catat Kekerasan Seksual Tertinggi Sebanyak 7.191 Kasus. Merdeka,com. Dalam https://www.merdeka.com/peristiwa/kemenpppa-catat-kekerasan-seksual-tertinggi-sebanyak-7191-kasus.html

 


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harmoni dalam Komunikasi Organisasi

GEMALI

Pemimpin Cahaya