Sosok People Pleaser Pada Zaman Rasullah
oleh : Ajeng Ayuning Tyas
Membantu serta menolong manusia yang lain merupakan kewajiban kita sebagai Manusia. Manusia sendiri merupakan Makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Namun semakin berkembangnya zaman dan lingkup lingkungan yang tidak sehat, banyak sekali orang orang yang sulit untuk menolak permintaan orang lain. Mereka mempunyai persepsi bahwa apabila menolak pertolongan dari orang yang kita kenal maka kita akan dijauhi dan tidak disukai.
Fenomena tersebut adalah People pleaser. People pleaser merupakan sebutan bagi seseorang yang selalu berusaha untuk menyenangkan orang-orang di sekitarnya. Dengan kata lain sebagaimana menurut Susan Newman seorang psikolog yang berbasis di New Jersey menyatakan bahwa people-pleaser akan meletakkan kepentingan orang lain di atas kepentingannya sendiri. Peoplel pleaser ini dapat disebabkan dari kebiasaan seseorang untuk ingin merasa penting dan berkontribusi bagi orang lain. People pleaser akan merasa aman dan percaya diri jika mendapat persetujuan dari orang lain. Mereka pun juga perlu agar orang lain menyatakan atau menunjukkan bahwa mereka berharga untuk bisa percaya diri. Sebaliknya, jika mereka tidak mendapatkan penerimaan atau pengakuan dari orang lain, seorang people pleaser akan merasa bingung, minder, hingga merasa diri tidak pantas.
Di Zaman Rasulullah ternyata ada salah satu tokoh yang mempunyai sifat People pleaser. Dia adalah paman Rasulullah sendiri yaitu Abu Thalib. Abu Thalib merupakan paman Nabi Muhammad yang paling membela Rasulullah. Sepeninggal ayahnya yang bernama Abu Muthalib, Nabi Muhammad diasuh oleh Abu Thalib. Bersama istrinya, Fatimah binti Asad, Abu Thalib mengurus serta membesarkan Rasulullah dengan penuh kasih sayang. Bahkan Abu Thalib dengan setia membela Rasulullah dan menjauhkannya dari ancaman kaum kafir Quraisy. Beliau juga turut membantu Rasulullah dalam menyebarkan agama tauhid. Hingga menjelang ajalnya, Rasulullah berusaha untuk terus membujuk Abu Thalib mengucapkan kalimat tauhid. Dikisahkan ketika menjenguk pamannya Rasulullah berkata:
“Wahai pamanku, katakanlah Laa ilaaha illallah, suatu perkataan yang bisa aku gunakan untuk membelamu di sisi Allah”
Tetapi paman Rasulullah tersebut tidak juga mengucapkan kalimat Tauhid karena merasa “tidak enak” kepada kaum agama nenek moyangnya. Saat itu hadir juga Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah bin Al-Mughirah yang juga membisikkan Abu Thalib. Mereka terus mengajak bicara Abu Thalib, sehingga tidak ada kesempatan bagi Rasulullah untuk menyampaikan ajakannya. Hingga akhirnya tibalah waktunya Abu Thalib wafat dalam keadaan masih memeluk agama nenek moyangnya, yaitu penyembah berhala. Maka dengan hatı sedih, Rasulullah pun berkata, "Sungguh, akan kupıntakan ampunan (kepada Allah) untukmu selama aku tıdak dilarang untuk melakukannya."
Kemudian turunlah ayat 113 Surat At-Taubah yang berbunyi:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْ يَّسْتَغْفِرُوْا لِلْمُشْرِكِيْنَ وَلَوْ كَانُوْٓا اُولِيْ قُرْبٰى مِنْۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُمْ اَصْحٰبُ الْجَحِيْمِ
Artinya
: “Tidak pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik,
sekalipun orang-orang itu kaum kerabat(nya),
setelah jelas bagi mereka,
bahwa orang-orang musyrik itu penghuni neraka
Jahanam”
Karena permintaan Nabi Muhammad kepada Allah terhadap
pamannya tersebut. Allah meringankan
siksaan Abu Thalib di Neraka dengan menggunakan sandal di kedua kakinya, yang mana sandal tersebut terbuat dari api yang dapat mendidihkan otaknya karena
panasnya di kedua sandalnya.
Artinya: “Penduduk neraka yang paling ringan siksanya
adalah Abu Thalib.
Ia memakai sandal
yang keduanya dapat mendidihkan
otaknya.” (HR. Muslim).
Allah memberikan hidayah
kepada siapa saja yang ia kehendaki. Sebaliknya jika Allah tidak
menghendakinya maka hidayah
itu tidak akan sampai padanya.
Komentar
Posting Komentar