Perkembangan Konsep Al-Nafs dalam Diri Manusia

Perkembangan Konsep Al-Nafs dalam Diri Manusia

Oleh : AzzamKamil

        Dalam Yudiani (2013) jiwa  diambil dari beberapa bahasa resapan, jiwa dalam bahasa Arab disebut dengan nafs, adapun jiwa dalam bahasa Yunani disebut sebagai psyche, sementara dalam bahasa Inggris jiwa akrab disebut sebagai soul. Manusia telah melalui berbagai proses dalam kehidupannya. Proses tersebut dilalui sejak manusia masih berbentuk janin hingga lahir di dunia. Jiwa manusia terdiri dari unsur materiil dan non materiil, salah satu hal yang menjadikan manusia istimewa dibandingkan dengan organisme lain terletak pada unsur non materiil. Adapun keunggulan/keistimewaan ini dapat terlihat jelas pada norma nafsiyah (psikologis) hingga pada kemampuan manusia untuk melakukan berbagai aktivitasnya. Artikel ini akan menjelaskan secara singkat mengenai jiwa berdasarkan paradigma psikologi Islam di Indonesia dari periode Islam (Hamka) di Indonesia hingga periode psikologi Islam (Mujib & Muzakir) dalam perkembangannya.

Diskusi yang beredar atau berkembang mengenai konsep manusia dalam psikologi ini terkandung dalam dua konsep, yaitu kemanusiaan dan psikologi (Islam). Berdasarkan sudut pandang ilmu filsafat, pandangan tentang manusia dapat ditelusuri kembali pada era Yunani kuno. Manusia dapat disebut sebagai hewan yang rasional. Sementara itu, sebagian orang pada kala itu juga menyebut manusia sebagai animal symbolic dengan alasan karena manusia menggunakan symbol-simbol tertentu untuk mengkomunikasikan sesuatu binatang manusia. Lain halnya dengan kedua pernyataan tersebut ada juga konteks yang berkembang mengenai manusia yang mana dalam hal ini manusia sering disebut sebagai hewan yang bisa melakukan berbagai pekerjaan dan bisa juga “gila” karena hal tersebut.  Psikologi sendiri dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dengan lingkungannya. Psikologi telah berkembang pesat sebelum William Wundt secara resmi mendirikan laboratoriumnya pada tahun 1879, ia percaya lahirnya psikologi  sendiri dipadang olehnya sebagai sebuah ilmu yang mana tergolong dalam ilmu pengetahuan (sains). Aristoteles mempelajari psikologi sebagai cabang ilmu sains yang mempelajari gejala kehidupan.

Hamka bisa dikatakan sebagai salah satu pemikir Islam di Indonesia yang diakui pada masanya. Dalam beberapa hasil torehan karyanya yang dibukukan terdapat diskusi mengenao jiwa manusia. Hamka percaya bahwa jiwa adalah hasil dari sebuah interaksi bersama unsur-unsur yang ada di dalam jiwa yakni; akal, keinginan, dan hati. Konsep jiwa yang dikemukakan Hamka menitikberatkan pada permusuhan rasional antara nafsu dan keadaan batin seseorang. Nafsu adalah dua kekuatan utama dalam jiwa manusia, dan keadaan batin merupakan keseluruhan hasil persatuan/kolaborasi/perseteruan berbagai unsur yang terdapat dalam jiwa organisme. Dalam perspektif Islam manusia terdiri dari dimensi material dan dimensi non material. Terkait dengan hal tersebut, Harun Nasution mengemukakan bahwa dalam kedua dimensi (material dan non material) memiliki sumber energi atau daya manusia (al-quwwah). Pada dimensi material, terdapat dua sumber energi atau daya organisme/manusia. Energi tersebut adalah daya fisik yang terdiri dari kemampuan seluruh indera/fungsi tubuh dari manusia itu sendiri seperti mendengar, melihat, merasa, meraba, dan mencium. Sementara itu daya lain yang dimiliki dalam dimensi materil adalah daya gerak. Daya gerak ini merupakan kemampuan manusia terkait dengan fungsi kerja otot tubuh seperti menggerakkan tangan, kepala, kaki, mata hingga pada kemampuan individu untuk berpindah tempat. Lain halnya dengan dimensi material, dalam dimensi non material manusia juga memiliki dua daya, yaitu daya berpikir atau aql, yang mana letak pusatnya ada di area kepala, dan daya rasa yang atau qolb yang berpusat di dada (Nasution, 2008:17). Dalam konteks psikologi, Baharuddin mengemukakan bahwa filsafat ilsma mengartikan al-nafs sebagai jiwa. Pengartian makna tersebut diperoleh dari pengaruh pemikiran Aristoteles, yang menyatakan bahwa jiwa (soul) dibagi menjadi dua bagian, yakni jiwa irrasional (tumbuh- tumbhan, hewan dan manusia) dan jiwa rasional.

Jiwa rasional ini yang menjadi pembeda manusia dengan organisme lain karena sifatnya hanya dimiliki oleh manusia. Teori ini kemudian dikembangkan oleh Ibn Sina yang menyatakan bahwa jiwa manusia terbagi tiga, yaitu jiwa tumbuh- tumbuhan, jiwa binatang, dan jiwa manusia. Berdasarkan beberapa pernyataan yang dikemukakan oleh beberapa tokoh antara lain Harun Nasution, dan Baharuddin memiliki sebuah pemikiran/sudut pandang yang sama bahwa al- nafs merupakan sisi yang terdapat dalam diri manusia (perspektif Islam). Adapun para filsuf memandang manusia dari sisi daya atau energi, sementara kalangan sufi memandang manusia dari sudut kedudukannya dalam sistem organisasi jiwa. Pada hakikatnya sisi jiwa dalam diri manusia tidak hanya ditemukan dalam konsep al-nafs saja, namun juga dapat dijumpai dalam konsep al-aql, al qalb, al-ruh, dan al fithrah yang mana masing- masing dari istilah tersebut juga memiliki penekanan makna yang menggambarkan bagian/sisi tertentu dari jiwa manusia.(Islam et al., 2017)

Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan memiliki sifat dan keberadaan yang jelas. Meskipun demikian, manusia tidak dibekali bakat mengenai teknologi sampai dengan sains, namun hal tersebut bukan menjadi keterbatasan bagi manusia karena teknologi dan sains merupakan suatu hal yang dapat dipelajari dalam kehidupan sehari-hari sehingga dengan keahlian tersebut manusia mampu memiliki derajat yang tinggi dibandingkan dengan makhluk lain karena diberikan anugerah berupa akal. Dalam Alquran, terdapat beberapa istilah kata yang melekat pada nilai kualitas manusia antara lain; al-basyar, al-ins, al-insan, al-uns, al-nas, bani adam, aql, hawa nafsu, pikiran, jiwa dan alam. Menurut sudut pandang psikologi barat istilah yang merujuk pada konteks jiwa merujuk pada arti kemanusiaan, akal, dan hubungan interpersonal. Hal tersebut menjelaskan bahwa teori psikologi barat tidak dapat mencapai esensi keberagaman manusia. Perbedaan antara konsep barat dengan Islam terletak pada keterlibatan al-ruh fitrah, dengan adanya dimensi al-ruh fitrah maka manusia tidak hanya dapat mempercayai keberadaan Tuhannya saja namun dapat menghadirkan keberadaan Tuhan dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari. Hal ini bermakna bahwa segala bentuk perbuatan/perilaku yang dijalani individu di resapi secara mendalam berdasarkan keyakinannya terhadap Tuhan. Adapun implementasi dalam konteks Islam terdiri dari riyadah (usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT), zikir, tazkiyah al-nufus (pembersihan jiwa) dsb. Beberapa implementasi tersebut dilakukan agar konteks pembelajaran tidak hanya menyentuh wilayah jasmani dan akal saja akan tetapi juga mencapai dimensi al-ruh sebagai nilai yang terdalam dari manusia (Khasinah, 2013). Dengan demikian proses pembelajaran tidak hanya menghasilkan organisme yang cerdas secara inteleketual dan emosional saja tetapi juga cerdas secara spiritual.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harmoni dalam Komunikasi Organisasi

GEMALI

Pemimpin Cahaya