Well Being Dalam Nuansa Pandemi Persepktif Psikologi & Islam

Well Being Dalam Nuansa Pandemi Persepktif Psikologi & Islam


Kehidupan yang sehat secara psikologis merupakan dambaan setiap orang. Oleh karena itu manusia senantiasa berupaya untuk mewujudkan kehidupan yang sejahtera baik secara fisik, psikologis maupun sosial. Hal ini tentunya dilakukan agar manusia memenuhi kebutuhannya yang tidak hanya seputar fisik namun mencangkup seluruh aspek kehidupan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut jugalah yang dapat menyebabkan terganggunya psikologis seseorang akibat dari munculnya beberapa permasalahan-permasalahan dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut dan dengan terpenuhinya kebutuhan tersebut maka manusia akan memperoleh kesejahteraan. Kodratnya manusia senantiasa melakukan perubahan/perkembangan dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut dengan selalu berupaya semaksimal mungkin. Pada dasarnya semua manusia memiliki kebutuhan yang sama namun dalam aspek pencapainya tentulah akan berbeda. Tokoh Abraham Maslow juga mengemukakan tentang kebutuhan-kebutuhan yang harus terpenuhi oleh manusia, teori nya dikenal dengan istilah teori hirarki. Kebutuhan yang tersusun dalam teori hirarki tersebut terdiri dari 5 aspek dari kebutuhan yang paling mendasar hingga puncak tertinggi kebutuhan.
Kebutuhan fisiologis, kebutuhan ini merupakan kebutuhan mendasar manusia yang terdiri dari kebutuhan akan makan, minum,oksigen, tidur, seks, dsb. Kebutuhan rasa aman dan nyaman, kebutuhan ini diperoleh atas perlindungan baik secara fisik maupun psikologis. Kebutuhan akan cinta dan kasih sayang, kebutuhan ini lebih kepada rasa saling memberi dan menerima kasih sayang yang diperoleh dari kehangatan atas kehadiran keluarga, pasangan, teman/sahabat, kelompok sosial, dll. Kebutuhan akan harga diri yakni lebih mengarah kepada kebutuhan untuk saling menghargai dengan penghargaan tersebut individu akan memperoleh kekuatan yang lebih untuk berprestasi, dan akan meningkatkan kepercayaan diri untuk mencapai eksistensi diri. Kebutuhan yang paling tinggi adalah aktualisasi diri, dalam hal ini individu tidak akan mengharapkan apapun lagi, individu hanya berusaha untuk melakukan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaannya ataupun kegemarannya. Dalam aktualisasi ini, individu sudah mencapai potensi diri yang seutuhnya.
Well Being (kesejahteraan psikologis) menurut Schult adalah fungsi positif yang dimiliki oleh individu, yang mana hal positif tersebut merupakan arah atau tujuan yang diusahakan untuk dicapai oleh individu. Menurut Aspinwall kesejahteraan psikologis justru lebih kepada proses penggambaran bagaimana psikologis berfungsi dengan baik dan positif. Dalam psikologi, penelitian tentang kebahagiaan dan ketidakbahagiaan dikenal sebagai Psychological Well Being (PWB) atau Kesejahteraaan Psikologis. Kesejahteraan psikologis adalah suatu keadaan dimana individu mampu menerima dirinya apa adanya, mampu membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, memiliki kemandirian terhadap tekanan sosial, mampu mengontrol lingkungan eksternal, memiliki arti dalam hidup, serta mampu merealisasikan potensi dirinya secara kontinyu.
Sementara itu, konsep kesejahteraan psikologis (Psychological Well-Being) atau PWB diperkenalkan oleh Bernice Neugarten pada tahun 1961 yang diartikan sebagai kondisi psikologis yang dicapai oleh seseorang berhubungan dengan teori kepuasan hidup (Life Satisfaction). Dalam pandangan Ryff masalah well-being ini mencangkup konteks perkembangan rentang hidup seseorang (life span). Hal ini merupakan hasil pemikiran yang  terpengaruh oleh pandangan Aristotle, bahwa well-being bukanlah hal yang sederhana seperti sebuah usaha untuk memperoleh kesenangan, tetapi perjuangan untuk menjadi sempurna yang dicerminkan mewujudkan potensi diri yang sejati (true potensial). Ryff kemudian berpendapat bahwa untuk mengukur psychological well-being (PWB) seseorang digunakan pendekatan multidimensi yang terdiri dari enam aspek yang berbeda dari aktualisasi diri manusia: autonomy, personal growth, selfacceptance, life purpose, enviromental mastery, dan positive relationship with others. Keenam aspek ini menjelaskan PWB baik secara teoritis ataupun operasional, aspek ini juga berpengaruh dengan hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan mental dan fisik.
Definisi psychological well-being menurut Ryff (1995, dalam Ryan & Deci, 2001) adalah keadaan individu dalam potensi diri yang sejati (true potensial) yang ditandai ia dapat mandiri dalam berperilaku dan mampu mengelak dari tekanan sosial (autonomy), mampu merasakan peningkatan kualitas diri dari waktu ke waktu (personal growth), menerima kelemahan dan kelebihan dirinya (self-acceptance), memiliki tujuan hidup yang berdampak pada keterarahan sikap dan perilakunya (purpose in live), mampu menciptakan dan memilih lingkungan yang sesuai dengan nilai dan kebutuhan pribadi (environmental mastery) dan mampu menikmati dan menjalin hubungan yang harmonis dengan orang lain (positive relationship with others).
Manusia dilengkapi oleh Allah dengan akal pikiran dan perasaan untuk mempertahankan kedudukannya sebagai makhluk yang mulia. Akal yang berpusat di otak berfungsi untuk berfikir. Sedangkan perasaan pusatnya di hati yang berfungsi untuk merasa. Akal dan pikiran manusia digunakan untuk menerima dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan dengan kemampuan yang dimilikinya, Allah menyuruh manusia untuk berfikir tentang fenomena alam, tentang dirinya sendiri, tentang seluruh makhluk dimuka bumi beserta langit dan bumi. Sebagai makhluk berakal, manusia selalu menggunakan akalnya untuk mengetahui sesuatu. Hasil dari mengetahui tersebut merupakan ilmu pengetahuan. Manusia yang beriman dan berilmu pengetahuan, menurut al- Qur’an, padanya akan diberi kemuliaan dengan ditinggikan derajatnya. Akibat dari manusia menggunakan akal, perasaan, dan ilmu pengetahuan maka akan terwujudlah sebuah kebudayaan yang mana kebudayaan tersebut berbentuk nilai (sikap, tingkah laku) yang kemudian akan di wariskan kepada keturunannya. Atas dasar hal tersebutlah manusia sebagai makhluk ciptaan Allah memiliki derajat yang berbeda dengan makhluk lainnya.
Dalam pandangan Islam manusia akan mendapat well-being (kebahagiaan) di dunia bahkan di akhirat, tentu hal itu terjadi apabila manusia memiliki komponen yang terdiri dari akal, perasaan dan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Lantas apakah momentum pandemi menjadikan kita terkekang? Tentu tidak, masih banyak yang bisa kita lakukan walau hanya dirumah saja mungkin sejatinya itu akan membosankan. Ya kalian akan bosan ketika tak berdaya melawan kemalasan, berteman dengan nuansa rebahan padahal sudah banyak tugas yang berserakan. Bukan hanya itu pandemi sering dijadikan alasan untuk menghakimi, seharusnya bukan orang lain yang diadili melainkan diri sendiri. Pandemi harus dijadikan alasan untuk terus intropeksi diri karena masih banyak hal yang bisa kita lakukan saat ini.

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatangbinatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”. (QS. Al-Imran: 14 )

Bersyukur merupakan cara terbaik dari menanggapi wabah pandemi ini. Dengan membuka pemikiran dari ilmu pengetahuan yang kita miliki, di dorong dengan akal dan dirasakan dengan menggunakan hati maka jadikanlah pandemi ini sebagai ajang untuk bisa memperoleh kesejahteraan psikologis, memperoleh kebahagian walau dengan keterbatasan yang ada takkan menjadi sebuah alasan untuk terus berupaya menimba ilmu, untuk terus memperbanyak ibadah yang mungkin belakangan telah kita tinggalkan selama ini akibat dari kesibukan duniawi kita lalai dan berpaling. Momentum ini harus dijadikan ajang untuk terus muhasabah diri untuk lebih dekat kepada sang Ilahi. Bukan mengurung dan menutup diri saja yang bisa dilakukan, masih banyak orang yang membutuhkan bantuan, membutuhkan dukungan dan dorongan dari kita semua. Untuk tau informasi yang lebih banyak tentang bersyukur secara mendalam bisa dicek ya pada postingan sebelumnya dengan judul Bismillah (bersyukur itu seindah mengaggumi ciptaan Allah). Semoga kita selalu diberikan perlindungan dan kesehatan dari Allah SWT, semoga kita bisa terus memaknai momentum ini dengan bijak dan semoga bumi kita tercinta ini bisa pulih kembali. Aamiin allahumma aamiin ..
Salam Pena
Zaranee00
Bidang Hikmah 2019
Referensi
Fitriani, Annisa. (2016). Peran Religiulitas Dalam Meningkatkan Psychological Well Being. Al-
     AdYaN
. XI(1). 2-3.
Primasti, Kartika Ayu & Aryani Tri Wrastari.(2013).Dinamika Psychological Wellbeing pada
     Remaja yang Mengalami Perceraian Orangtua Ditinjau dari Family Conflict yang Dialami.
     Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial. 2(3). 123.
Sada, Heru Juabdin. (2017). Kebutuhan Dasar Manusia Dalam Perspektif Pendidikan Islam. Al-
     Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam
. 8(II). 216.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harmoni dalam Komunikasi Organisasi

GEMALI

Pemimpin Cahaya